SALAM INSAF, SEKALI LAGI TENTANG ISBN
Oleh Bambang Trim
---
Kamis, 14 April 2022, saya memenuhi undangan diskusi ISBN di Perpusnas RI (Jalan Salemba). Ada sedikit "oleh-oleh" informasi untuk lebih memahami tentang ISBN.
Jadi, jika beberapa waktu kemarin ISBN sempat tertunda, ternyata Perpusnas RI sebagai agensi ISBN internasional di Indonesia mendapatkan teguran dari Badan ISBN internasional. Teguran diikuti dengan instruksi penundaan sementara pemberian ISBN dari Badan ISBN internasional yang berpusat di London, Inggris.
Mengapa hal tersebut terjadi?
KETIDAKWAJARAN PRODUKSI BUKU INDONESIA
Produksi judul buku di Indonesia dianggap tidak wajar dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 2020 saat pandemi mulai melanda, buku yang diberi ISBN mencapai 144.793 judul, sedangkan tahun 2021 mencapai 63.398 judul.
Perlu diketahui Indonesia mendapatkan nomor khas blok ISBN adalah 978-623 dengan jatah ISBN sebanyak 1 juta ISBN. Diperkirakan nomor itu akan habis dalam rentang waktu lebih dari 10 tahun. Beberapa negara menghabiskan angka 1 juta itu lebih dari 15 tahun, bahkan 20 tahun.
Alokasi 1 juta nomor itu diberikan kepada Indonesia terakhir tahun 2018, tetapi tahun 2022 pemberian ISBN sudah membengkak lebih dari 50% mencapai 623.000 judul.
Bayangkan hanya tersisa 377.000 nomor lagi. Jika rata-rata Indonesia menerbitkan 67.340 judul buku per tahun (sebagaimana data Perpusnas RI, 2021), nomor itu akan tersisa sekira untuk enam tahun lagi.
Produksi judul buku yang sangat produktif ini memang seperti menyiratkan kemajuan literasi kita. Namun, sekali lagi jumlah besar itu tidak menyuratkan mutu buku. Jumlah besar itu juga berbanding terbalik dengan pendapatan penerbit yang pertumbuhannya terus menurun berdasarkan data Ikapi.
Sebagai fakta, di negara-negara maju saat pandemi Covid-19, penjualan buku (baik cetak maupun elektronik) meningkat drastis. Orang memborong buku untuk kegiatan di rumah. Namun, kondisi itu tidak terjadi di Indonesia. Penjualan buku terjun bebas nyaris ke titik nadir.
PUBLIKASI YANG RELEVAN DIBERI ISBN
Lonjakan pengajuan ISBN tersebut ditengarai juga akibat banyaknya publikasi yang tidak patut diberi ISBN, dimintakan ISBN-nya, termasuk oleh lembaga negara. Di sini kita perlu mendefinisikan kembali apa yang disebut buku.
Tidak semua publikasi dalam bentuk buku relevan atau layak diberi ISBN, apalagi publikasi yang bukan termasuk buku. Buku merupakan media massa dengan sifat publikasi tidak berkala (tidak secara periodik diterbitkan).
Buku yang relevan diberi ISBN adalah buku yang berada pada rantai pasok industri buku. Ciri ini dapat disederhanakan sebagai berikut.
1. Buku tersedia untuk publik secara luas dan dapat diakses, baik secara gratis maupun berbayar.
2. Buku diperjualbelikan dalam jumlah yang banyak. UNESCO pernah membuat batasan minimal 50 eksemplar.
Karena itu, ISBN relevan digunakan sebagai basis metadata untuk memperlancar rantai pasok penerbitan buku. Ia berguna di hilir industri buku untuk mengidentifikasi buku, terutama distribusi dan penjualan.
Publikasi dalam bentuk laporan tahunan, laporan kegiatan, dan publikasi lainnya yang bersifat selingkung (terbatas) serta tidak tersedia untuk diakses publik, apalagi tidak diperjualbelikan maka tidak relevan diberi ISBN.
Demikian pula buku-buku yang terbit sekadar menggugurkan kewajiban untuk penilaian angka kredit/kenaikan pangkat. Buku-buku itu sering kali dicetak hanya beberapa eksemplar. Tentu buku seperti ini tidak relevan diberi ISBN.
Mari insaf bersama untuk tidak meng-ISBN-kan semua publikasi dan tidak meng-ISBN-kan semua buku. Buku tidak ber-ISBN bukan berarti tidak sah sebagai buku.
DI INDONESIA SEMUA DI-ISBN-KAN
Ada kecenderungan individu atau organisasi meng-ISBN-kan semua publikasi yang diterbitkan. Berikut ini contohnya.
Ringkasan kebijakan (policy brief) dibukukan dan di-ISBN-kan. Laporan KKN mahasiswa di-ISBN-kan. Laporan kegiatan di-ISBN-kan. Skripsi, tesis, disertasi tanpa konversi di-ISBN-kan. Orasi ilmiah di-ISBN-kan tanpa konversi. Prosiding di-ISBN-kan tanpa melihat apakah seminarnya berkala atau tidak.
Beberapa sekolah membuat kegiatan literasi untuk siswanya. Siswa didorong menulis cerita atau puisi lalu dikumpulkan dalam bentuk antologi. Buku antologi itu dicetak terbatas sejumlah siswa dan sisa beberapa eksemplar untuk dokumentasi sekolah. Buku semacam ini tidak relevan diberi ISBN. Toh, untuk apa ISBN itu bagi sekolah?
Demam ISBN ini tampaknya didorong oleh persepsi keliru bahwa buku yang ber-ISBN- lebih keren karena mendapat pengakuan internasional. Buku ber-ISBN lebih afdol sebagai buku yang profesional. Buku ber-ISBN menunjukkan pemenuhan standar mutu. Padahal, tidak ada hubungan sama sekali.
Memang ada kebijakan mutu pemberian ISBN seperti dilakukan oleh Council of Europe. Lembaga ini memberlakukan kebijakan tentang pemberian ISBN untuk publikasinya. Mereka menetapkan buku ber-ISBN harus memenuhi standar mutu dari Council of Europe.
Demikian pula yang pernah diberlakukan oleh LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN) ketika ada peneliti yang meminta ISBN. LIPI Press bukan pemberi ISBN. Jika buku hendak diterbitkan oleh LIPI Press atau menggunakan ISBN LIPI Press, buku harus memenuhi standar mutu LIPI Press. Colek Fadly Suhendra.
Demam ISBN ini terutama melanda perguruan tinggi dengan membuat aturan publikasi harus ber-ISBN meskipun publikasi itu bersifat internal atau terbatas. Sungguh terlalu, tidak relevan.
Publikasi berupa bahan ajar berbentuk buku yang hanya digunakan terbatas di lingkungan kampus tersebut, apalagi memang tidak diperjualbelikan secara bebas, tidak relevan menggunakan ISBN.
BEBERAPA SOLUSI
Diskusi ISBN ini menarik sebagai salah satu permasalahan publikasi di Indonesia yang kerap juga dikait-kaitkan dengan literasi. Kini, Perpusnas RI masih "menahan" sekira 5.000 pengajuan ISBN. Penundaan ini dilakukan karena beberapa hal yang mencuat dalam diskusi.
Eksistensi penerbit memang dipertanyakan. Apakah yang mengajukan ini benar-benar penerbit atau bukan?
Salah satu jalan yang sedang disiapkan oleh Pusat Perbukuan adalah akreditasi penerbit. Ini mungkin solusi ke depan bagi Perpusnas untuk menyeleksi penerbit pengaju ISBN hanya penerbit yang terakreditasi.
Salah satu sifat manusia Indonesia itu memang kreatif. Syarat sebuah penerbit, seperti menjadi anggota asosiasi dan melampirkan legalitas usaha, mudah untuk diakali. Namun, sebenarnya sang penerbit sama sekali tidak punya roh sebagai penerbit buku. Ini banyak terjadi.
Jika dikaitkan dengan mutu dan profesionalitas, muncul gagasan apakah perlu pengaju ISBN dari sisi penulis dan editor menyertakan sertifikat kompetensi? Ini masih sebatas wacana dan salah satu cara menyeleksi pengaju ISBN.
PENGINSAFAN MASSAL
Penginsafan massal memang diperlukan bukan hanya soal ISBN, melainkan juga soal lain sebagai fundamental penerbitan buku. Kalau kata Kang Arys Hilman, Ketum Ikapi, saya ini ibarat penjaga hulu penerbitan.
Hulu penerbitan itu seperti ISBN ini dan persoalan mutu buku, termasuk yang tampak "remeh temeh" seperti anatomi buku. Pak BT memang sibuk mengurusi perbedaan 'kata pengantar' dan 'prakata'. Hehehe itu sebagian hobi saya. Biarlah hulu ini ada yang memikirkannya.
Banyak hari saya kini dihabiskan untuk menyusun regulasi dan pedoman di Pusat Perbukuan, pun di Badan Bahasa. Lalu, kini saya sedikit terlibat di Perpusnas.
Betul bahwa persoalan di hilir juga penting yakni bagaimana buku terjual dan penerbit dapat memperpanjang napasnya. Saya memaklumi "shifting" yang dilakukan penerbit pada saat disrupsi.
Pendapatan penerbit tradisonal utama adalah dari penjualan buku, termasuk penjualan dalam proyek pemerintah. Begitu terjadi disrupsi, penerbit mulai beralih pada penjualan konten (di luar buku). Lalu, terjadi lagi disrupsi, penerbit beralih pada model bisnis jasa penerbitan (penerbitan berbayar alias vanity publishing).
Hari-hari saya sekira satu dekade lalu banyak dihabiskan di hilir penerbitan. Saya merasakan aura dinamis penjualan dan pameran buku sejak tahun 1990-an. Berjibaku dengan arus kas penerbitan, berjibaku dengan gagasan penerbitan, dan berjibaku dengan aktivitas pemasaran buku telah membentuk pengalaman kukuh tentang penerbitan buku.
Sekali-sekali saya merasa bangga dapat melahirkan buku-buku yang layak dilabeli best seller nasional. Buku The True Power of Water, Setengah Isi Setengah Kosong, Api Sejarah merupakan beberapa buku yang lekat dalam ingatan saya. Namun, hari-hari itu kini saya tinggalkan.
Ilmu ini tidak dapat diperoleh di pendidikan formal. Ilmu ini lebih banyak berupa 'tacit knowledge' yang justru jarang dituliskan di buku-buku. Penelitian terhadap penerbitan buku sendiri sangat minim di Indonesia dari berbagai disiplin ilmu.
Mengapa saya masih bertahan mengajar di Polimedia meskipun tertatih-tatih mengatur waktu? Bahkan, bersua dengan sebagian besar mahasiswa culun yang juga masih bingung mengapa mereka masuk Prodi Penerbitan. Jawabannya karena lewat mengajar paling tidak saya dapat menurunkan ilmu kanuragan penerbitan ke 1-2 orang mahasiswa. Mengajar membuat saya belajar lagi.
Saya insaf, dunia saya kini memang ada di hulu penerbitan buku di sisa usia yang insyaallah masih dapat berkontribusi. Jadi, mari insaf berjemaah.